Aku selalu iri sekaligus kagum
ketika mendengarkanmu membicarakan mimpi. Tak sedikitpun terdengar kebingungan
di tiap katanya. Kamu membicarakannya seolah ia tak lebih dari rancang denah
yang telah kerap kamu gambar dalam masa studimu kemarin. Ada kejelasan pada
setiap detailnya. Seolah-olah telah kamu buat cetak birunya. Sebuah desain
hebat tentang sebuah mimpi lengkap dengan berbagai macam rincian yang
mengikutinya. Dan mengingat jiwamu yang selalu tertarik untuk membuat ‘sesuatu’
aku yakin entah di sudut kamarmu bagian mana, pasti ada coretan tentang mimpi
itu. Cetak biru itu.
Sudah lama aku terlalu malas
untuk bermimpi. Setiap kali berhasil merumuskan sebuah mimpi, ia selalu hancur
dalam tiap perjalanannya. Bahkan sebelum tahap perwujudannya, ia telah ambyar
kepentok perijinan. Atau kalaupun sukses mendapat ijin, ia akan mumur dihantam
realita. Aku telah memutuskan pensiun menjadi pemimpi profesional. Sekadar
menjalani hidup sebagai kemanutan pada apa saja yang telah disiapkan, dan
berlagak menikmatinya.
Aku selalu mencoba meyakini apa
yang pernah dikatakan oleh Dhani: bahwa harapan adalah memupuk mesiu dan meledakkannya
dengan tersembunyi, bahwa harapan seringkali berulah seperti pisau tajam yang menusukmu
pelan-pelan lalu ditarik secara tiba-tiba. Ya, semacam itu. Aku meyakini bahwa
mimpi adalah calon pengkhianat bagi mereka yang telah melahirkannya.
Tapi aku lemah. Kau tahu, aku
selalu meyakini bahwa semua yang tersaji untuk kita adalah hadiah, sesuatu yang
musti selalu kita syukuri. Tapi aku seringkali membangkang. Menganggap bahwasanya
nasib kerap tak berpihak padaku. Menganggap apa yang ku(coba)yakini sebagai
hadiah adalah musibah. Begitulah dengan mimpi, aku kerap mengkhianati
keputusanku utuk pensiun dengan tanpa sadar bermimpi diam-diam. Menjilat kembali
kata-kata Dhani yang kerap kuucap selayak mantra.
Maka kemarin, ketika kita
menghabiskan malam dengan bertukar cerita tentang mimpi-mimpi, ada sesuatu yang
bergejolak. Semacam rasa ingin nggondheli sekaligus ingin mendorongmu
keras-keras. Semacam rasa ingin menampar agar kamu tersadar sekaligus ingin
memberikan banyak-bayak tepuk pundak sebagai bentuk dukungan.
Ah, sudahlah. Apapun itu, hari
ini kamu telah tiga hari berada di perantauan, mengejar semua mimpimu. Tulisan ini
awalnya kuniatkan sebagai ucapan selamat serta bentuk turut berbahagia yang ceria.
Sedikit menyerempet kekonyolan-kekonyolan jaman SD yang menyebabkan senyum
simpul lalu dengan sok bijak ala orang-orang dewasa memberi bermacam petuah
tentang hidup. Tapi jika jadinya hanya sebuah curhat macam begini ya terima
saja. Hahaa.
Intinya, selamat bersenang-senang
di Jakardah, Jo! Hajar semua pedih-perihnya. Lalu sembilan bulan lagi, silakan
ceritakan semua pencapaianmu di sana. Barangkali saat itu, saat mendengar
ceritamu yang meletup-letup itu, aku bisa tertarik menjadi seorang pemimpi
lagi.
Muachhhh.
No comments:
Post a Comment