Beberapa tahun ini saya kerap berkelana. Dari satu
persinggahan ke persinggahan lain. Apa yang saya dapat dari semua itu? Entah.
Bukan, kata entah di sini bukan berarti semua pengelanaan saya itu tak
menghasilkan apa-apa. Tentu saja ada yang bertambah pada saya. Dan sejauh ini
tampaknya pertambahan pada diri tersebut bernilai positif. Tapi, hei, bukankah
terkadang punya banyak ataupun tak punya apa-apa bisa jadi sama-sama tak
membawamu beranjak kemana-mana, bukan? Semacam itu barangkali. Entahlah. Saya tak
tahu pasti.
Tapi yang saya tulis ini bukan kisah tentang pengelanaan
–pengelanaan itu. Ini kisah tentang ritual sacral yang kerap saya lakukan saat
semua entah tadi terasa begitu membingungkan. Atau saat sekadar semuanya
terlalu eman-eman untuk dilewatkan
dengan biasa saja, tanpa seremoni basa-basi. Ya, ritual sacral itu seremoni
basa-basi itu. Bisa jadi, bukan? Bukankah upacara-upacara adat nan sacral di
berbagai pelosok tanah ini juga sudah tereduksi menjadi seremoni basa-basi
macam acara penyambutan turis atau remeh-temeh lainnya. Saya kira saya sedang
mengadaptasi konsep itu.
Ya, ritual sacral itu yang akan saya kisahkan kali ini.
Sebuah ritual demi menjaga kewarasan.
***
Jendela yang mulai mengembun di samping saya duduk tak dapat bercerita banyak, selain kelam malam yang datang berjanjian dengan hujan. Hujan dan kelam malam. Kombinasi yang tepat untuk menemani perjalanan saya yang sudah saya duga akan menjadi sendu mengingat apa yang mendasari saya melangkah kali ini.
Belakangan ini saya merasa terlalu penuh dengan kekhawatiran-kekhawatiran kecil yang dijadikan besar oleh masa menganggur saya. Teman-teman yang mulai asik dengan dunia barunya, kerinduan akan sebuah pencapaian, kebutuhan akan uang yang aduhai manisnya, ketakutan untuk menjadi rutin kembali, ketidaktegaan meninggalkan thole diasuh orang lain, keengganan untuk menjadi terikat. Semuanya bertubrukan jadi satu.
Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut yang mendasari perjalanan saya kali ini. Ya, ada seseorang yang mesti saya jenguk. Sekadar untuk berbagi cemas dengannya, bersilat lidah dengannya atau sekadar duduk diam bersamanya. Menikmati hening music atau monokromatisnya acara tv hari ini. Dia tak pernah menjanjikan kejelasan ataupun ketenangan pada saya, tapi akan selalu ada sedikit pemahaman ataupun penerimaan akan semua hiruk-pikuk yang membawa saya menjenguk dirinya. Dan meski sedikit itu amatlah melegakan.
Ya, saya mesti pulang mengunjungi diri saya sendiri, yang kerap saya tinggalkan untuk berkelana pada pikiran-pikiran orang lain. Saya perlu berdialog dengan diri ataupun sekadar menjenguk untuk memastikan masih adakah kebeadaannya setelah saya lebih memilih mengimani apa kata orang daripada dia, yang kebetulan adalah saya sendiri itu. Mendengar kembali apa yang sebenarnya diinginkan untuk saya. Entah untuk melegakan siapa, saya atau justru dia.
Ya, saya perlu pulang kepada diri saya demi menjaga kewarasan. Meski selanjutnya saya akan tetap lebih betah berkelana di pemikiran orang lain lagi tapi saya tetap harus pulang.
Tiba-tiba music yang sedari tadi kami putar tak lagi hening,
‘pejamkan mata kita, di Venesia…’