Judul tulisan ini sengaja saya buat panjang agar Bapak Ibu sekalian dari
awal sudah paham, bahwa bisa jadi tulisan ini akan sangat subjektif sekali.
Maka demikian, mohon maaf bila di salah satu bagiannya akan terbaca sangat
tendensius. Tapi bisa jadi juga tulisan ini gagal menyampaikan apa-apa,
mengingat buruknya kemampuan saya dalam menyampaikan sesuatu.
Perkenalkan, saya adalah seorang guru di salah satu SMP Swasta di daerah
pinggiran. Dibanding masa bakti hampir sebagian Bapak Ibu di grup ini dalam
dunia pendidikan, saya jelas bukan apa-apa. “Anak kemarin sore”, demikian
sebagian besar orang membahasakan. Maka jika nanti dirasa kok demikian
sempitnya pemikiran saya, mohon pemaklumannya. Saya yang masih minim pengalaman
ini hanya sekadar ingin berbagi harap. Semoga Bapak Ibu sekalian nantinya juga kerso
bercerita banyak terkait sistem zonasi ini. Agar pikiran saya yang sempit ini
bisa sedikit meluas.
…
Lumrahnya sekolah swasta pinggiran lainnya, sekolah kami hampir selalu
menjadi jujugan akhir dari para calon anak SMP. Dari anak-anak ‘sisa
negeri’ seperti mereka lah sekolah kami hidup.
Banyak hal yang membuat tahun-tahun pertama saya menjumpai anak-anak
terasa demikian berat. Di masa itu, masih banyak anak-anak kami yang nir-sopan santun.
Sebagai guru baru yang masih muda, kelas terkadang tak ubahnya taman bermain tatkala saya mengajar. Taman bermain dalam arti yang
sesungguhnya, anak-anak banyak yang mengelompok bermain, sibuk mengobrol dengan
teman-temannya, teriak sana-sini. Hanya tertinggal beberapa anak yang sudi
memperhatikan saya, barangkali juga atas dasar rasa kasihan terhadap saya.
Hahaaa.
Tak terhitung berapa kali saya menangis saat masa awal-awal mengajar
itu. Dibesarkan di lingkungan keluarga yang tergolong baik-baik dan lingkungan
pendidikan yang termasuk favorit, saya kaget melihat ada ‘dunia lain’ yang saat
itu saya sebut ‘bar-bar’. Maafkan saya, Anak-anak. Hahaa.
…
Lepas beberapa bulan mengajar, sediki-sedikit saya mulai berkenalan
dengan lingkungan keluarga anak-anak kami berasal. Perkenalan itu sedikit
membuka pikiran saya, menghadirkan penerimaan atas sikap anak-anak.
Yang kerap terngiang adalah, pernah salah seorang anak kami yang invalid
(sekolah kami memang sekolah inklusi) terjatuh di kelasnya. Teman-temannya
lantas menggotongnya menuju UKS. Salah seorang guru menghubungi orang tua anak
tersebut lewat nomor HP Paklek nya. Orang tua si Anak belum punya HP.
Tak lama, Ibu anak tersebut datang. Tergopoh Ia menuju UKS (setelah melepas
sendal jepitnya di depan pintu UKS) lalu mencium kening anaknya. Setelah
memastikan tak ada hal serius yang perlu dicemaskan tentang anaknya, Ia
bercerita tengah membantu menggarap sawah tetangganya saat Paklek si
Anak memintanya untuk segera ke sekolah.
Sebut saja anak itu Zaid. Zaid kerap dibully karena tangan dan
kaki nya yang istimewa itu. Tapi dia hebat, tak pernah sekalipun dia terlihat
kecil hati. Di pembelajaran pun ia tergolong anak yang ndemenakke.
Melihat kecemasan Ibunya dan ciuman tulus di kening Zaid saat itu, tiba-tiba
saya merasa nggerus. Tentu ada banyak sekali pengharapan Ibu Zaid untuk
Zaid, untuk masa depan Zaid. Dan saat itu juga saya merasa sangat tidak layak
sekali menjadi guru. Semacam, ‘mampukah saya memenuhi pengharapan-pengharapan
Ibu Zaid atas diri Zaid?’. Dan bukan hanya satu, tapi juga untuk ratusan anak
lainnya. ☹
Lepas kasus Zaid, saya mulai berkenalan dengan latar belakang anak-anak
saya yang lain. Ada Sadam yang di sekolah kerjaannya tidur. Bicara maupun
tingkah lakunya kasar. Tiap sore hingga malamnya ternyata dihabiskan membantu
orangtuanya jualan nasi kucing di angkringan. Ada Reni yang pergaulannya
cenderung bebas. Di rumah, orangtuanya sudah lama cerai. Bapaknya sering
mabuk-mabukan dan membawa wanita lain pulang ke rumah. Hampir tiap malam.
Sementara Ibunya pergi menjadi TKW.
Ada Hendra yang saya jumpai tengah menarik gerobag penuh dedaunan dan
rumput saat saya pulang dari memberi les privat. “Untuk pakan sapi, Bu”,
jawabnya ketika saya tanya. Ada Pak Kirjo, Bapak salah seorang anak kami yang
berumah di pegunungan sana, sore-sore dengan sepeda berkunjung ke rumah salah
satu guru sekolah kami, menitipkan beberapa lembar uang yang dilipat-lipat jadi
satu. “Nembe mawon diparingi juragan, Bu. Titip kagem mbayar sekolah e lare
kulo nggih”.
Pernah juga kami harus mendatangi rumah salah seorang anak kami karena
Ibunya menelpon dengan tangis, meminta kami ke rumahnya saat itu juga. Ternyata
didapatinya sang anak berbuat yang tidak-tidak ketika dirinya dan suaminya
pulang lebih awal dari proyek. “Rekane nggih ewang-ewang melu dadi laden, Bu.
Ngelingi anak e meh pados sekolah. Nek Bapak e kiyambak karangan mboten cekap
e.”
Pun belum lama, saya berpapasan dengan salah seorang anak kami yang
sudah lulus tengah membonceng gerobag bertuliskan tahu gejrot. “Jualan, Bu. Di
perempatan ****”, ketika saya tanya nasib sekolahnya, “ha nggih sekolah, Bu.
Ten SMK **** (menyebut salah satu nama SMK swasta). Nek sore nyambi jualan”.
…
Demikian sebagian kisah anak-anak saya, Bapak Ibu. Tentu saja tidak
semuanya sebiru itu. Barangkali untuk beberapa kasus akan terdengar heroik.
Tapi saya kira sekarang bukan waktunya untuk mengglorifikasi kisah hidup
anak-anak. Semua itu adalah sedikit bukti adanya ketimpangan besar di masyarakat kita. Dulu, di
lingkungan sekolah saya, teman-teman saya hampir semuanya berada. Kami bersekolah
di sekolah negeri favorit. Lepas sekolah kami bisa tidur siang, malamnya bisa
belajar didampingi orang tua kami. Pun jika harus membutuhkan ini itu untuk
perlatan sekolah, orang tua kami mampu membelikannya, tanpa perlu
mengkhawatirkan keberadaan sarapan kami esok pagi.
Tapi sekarang, dunia yang dulunya saya yakini hanya ada di skenario
sinetron Indosiar, ternyata nyata adanya. Dan sayangnya dimiliki oleh sebagian
anak-anak saya di sekolah. Beberapa dari anak-anak saya tak memiliki kemewahan
untuk bisa belajar di sore hari, maka jangan heran jika dari jaman SD dulu
mereka menabung ketidaktuntasan di banyak mata pelajaran. Dan tentu saja
bertambah banyak sampai sekarang, mengingat mata pelajaran yang mereka pelajari
juga tambah banyak macamnya.
Pun untuk fasilitas, ataupun gizi yang layak, jangan berharap banyak.
Uang Bapak Ibu mereka hampir sebagian besar habis untuk membayar biaya
pendidikan di sekolah swasta kami ini. Jadi maafkan mereka jika tak punya
banyak peralatan, juga kerap tak mengumpulkan tugas yang mengharuskan browsing
sana-sini atau mengetik banyak. Biaya warnet mahal.
Saya kira bukan salah mereka seluruhnya jika kemampuan mereka tak bisa
bersaing. Bahkan sangat mungkin itu adalah kesalahan kami, yang belum mampu memfasilitasi
mereka agar mampu di pelajaran. ☹
…
Sistem zonasi yang tengah banyak jadi topik di banyak grup atau simpul-simpul diskusi pendidikan ini
tentu saja membangkitkan banyak harap bagi saya. Semoga bisa memperbesar
peluang anak-anak saya belajar di sekolah negeri. Sehingga mereka bisa belajar
tanpa dibebani mahalnya biaya administrasi sekolah. Belajar dengan guru-guru
yang mumpuni, sehingga bisa mengurangi tabungan ketidaktuntasannya. Dan yang
pasti, bisa berteman dengan anak-anak yang lebih beruntung, dan bersama-sama
mengusahakan masa depan yang cerah bagi semuanya. Dunia yang lebih egaliter
bagi semuanya. Bersama-sama memperkecil jurang kesenjangan yang ada. Mewujudkan
harapan Ibunya Zaid, dan tentu harapan Bapak Ibu anak-anak yang lain.
Jadi, kagem Bapak Ibu sekolah negeri yang besoknya ketiban ndaru menjadi Ayah Ibu di sekolah dari anak-anak kami, "Ndherek titip lare-lare nggih, Bapak Ibu. Semoga diparingi gampil kagem semuanya. Semoga senantiasa diparingi kemudahan dan kemampuan dalam setiap niat baik. Terakhir, semoga senyum dan syukur senantiasa menemani." 😊😊😊
1. Ditulis dengan niat untuk turut meramaikan hingar bingar grup terkait zonasi, tapi ndak jadi diposting di grup mawon deh. Hahahaa
2. Semua nama yang ada di atas jelas bukan nama sebenarnya, selain karena privasi yang bersangkutan, sebab lainnya adalah karena saya memang lupa 😔