Tuesday, September 10, 2019

Belajar dari Rumah Belajar

Berangkat dari postingan di grup Whatsapp berbulan lalu, tugas pelatihan VCT, sebuah utas di twitter, dan materi di IN 1 SPMI, maka inilah selayang pandang tentang beberapa konten di Rumah Belajar. Portal bimbingan belajar dalam jaringan milik pemerintah yang bisa diakses secara gratis oleh siapa saja.


BANK SOAL RUMAH BELAJAR

Beberapa waktu lalu saya sempat menemukan sebuah utas di twitter, membahas tentang salah beberapa soal yang tersedia di rumah belajar. Berikut tangkapan layar dari kepala utas tersebut.


Bila tertarik mengikuti diskusi yang mengikuti utas tersebut, silakan kunjungi link berikut https://twitter.com/gilanngkr/status/1166626025557626886

Berangkat dari utas tersebut, saya mencoba mengunjungi salah satu paket soal yang tersedia di bank soal untuk kelas VIII dengan link berikut https://belajar.kemdikbud.go.id/BankSoal/Evaluasi/Show/5162

Dari paket soal tersebut memang terdapat beberapa hal yang masih perlu diperbaiki, seperti:




1. Ketidakkonsistenan banyak pilihan jawaban 







Dari tangkapan layar beberapa soal di atas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan banyak opsi jawaban. Ada yang mencantumkan 7 opsi jawaban, 1 opsi jawaban, sementara yang lainnya sesuai dengan tingkatan SMP terdapat 4 opsi jawaban.


2. Penulisan equation matematika



Penulisan bilangan desimal pada opsi jawaban berubah menjadi “over”. Hal ini tentu saja akan menyebabkan para pengguna soal bingung dalam memilih jawaban.


3. Kealpaan dalam menyajikan pilihan jawaban




Terhitung ada dua nomor yang tercantum tanpa pilihan jawaban, yaitu soal nomor 9 dan 13.


4. Pembahasan yang belum lengkap



                
Tampilan hasil yang keluar setelah soal selesai dikerjakan sebenarnya cukup bagus. Kolom untuk kunci jawaban dan pembahasan telah disediakan. Sangat sesuai jika rumah belajar dimaksudkan sebagai salah satu media bagi anak-anak untuk belajar mandiri dari mana saja dan kapan saja. Namun seperti yang terlihat pada tangkapan layar di atas untuk paket soal tersebut kolom kunci jawaban dan pembahasan masih kosong. Eman-eman.


Kenapa bisa?



Beberapa kekurangan tersebut terjadi karena mungkin tidak adanya editor untuk setiap paket soal yang diunggah. Tercantum dalam salah satu laman pemilihan paket soal bahwa tanggungjawab setiap konten berada langsung pada kontributor soal. Apakah soal yang tersedia sudah melalui ujicoba atau melewati tangan kedua, ketiga, dst untuk proses penyempurnaan tampaknya belum diperhatikan.






MATERI “KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM”  
      
Kenapa materi ini yang saya pilih? Ya karena kemarin materi ini muncul di daftar konten sumber belajar terpopuler dan ya, saya cukup penasaran tentang sejauh apa pendidikan kita membicarakan tentang kasus pelanggaran HAM. Materi tersebut dapat diakses di https://sumberbelajar.belajar.kemdikbud.go.id/sumberbelajar/tampil/Kasus-Kasus-Pelanggaran-HAM-2010/konten1.html

Dan inilah isi dari materi tersebut.


Cakupan materi yang diberikan cukup luas, namun kurang mendalam saya kira. Mengingat sumber belajar ini berbasis internet, ada banyak sekali yang bisa ditambahkan untuk memperdalam materi tersebut.

Di sub bagian lembaga perlindungan HAM di Indonesia, mungkin bisa disertakan link situs dari lembaga-lembaga tersebut. Ini dapat menstimulasi anak untuk mencari lebih dalam tentang lembaga-lembaga tersebut. Pun tidak menutup kemungkinan jika anak-anak ingin berinteraksi lebih lanjut (bertanya, berkunjung, dll) terhadap lembaga tersebut. Tentunya pembelajaran akan semakin kaya jika terjadi interaksi antara mereka dengan lembaga-lembaga tersebut.



Selain itu, di sub bagian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, daftar kasus yang ada semestinya bisa diberikan daftar terkini. Tercatat seperti dalam tangkapan layar berikut bahwa kasus terakhir yang dicantumkan adalah Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 dan 2005. 


Ada banyak kasus lain yang hingga kini masih selalu hangat dan cukup menyesakkan karena memang hingga kini tak kunjung ditemukan titik terang dari kasus-kasus tersebut. Ada kasus Munir yang tiga hari lalu baru saja diperingati 15 tahun meninggalnya. Ada kasus Salim Kancil, seorang petani di daerah Lumajang yang dibunuh karena melawan kegiatan tambang ilegal di desa nya. Pun juga dengan kasus-kasus kriminalisasi aktivis lainnya yang marak terjadi di daerah perebutan lahan oleh korporat. Belum lagi kasus pelarangan beribadah untuk agama ataupun aliran-aliran tertentu di beberapa daerah. Banyak. Saya kira ada banyak sekali yang bisa ditambahkan untuk memperkaya materi ini. Link berita dari media independen bisa ditambahkan agar anak-anak bisa menelisik lebih jauh terkait kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut.


Pun selain sub bagian Upaya-Upaya Penanganan Pelanggaran HAM di Indonesia bisa juga ditambahkan sub bagian Kendala-Kendala Penanganan Pelanggaran HAM di Indonesia. Sub bagian tersebut bisa menampilkan tentang aksi Kamisan, wawancara dengan lembaga-lembaga perlindungan HAM, dan lain sebagainya. Hingga nantinya akan dihasilkan semacam insight dalam benak anak-anak, mengapa meski terdapat banyak lembaga perlindungan HAM, namun hingga kini tetap saja ada kasus-kasus pelanggaran HAM. Sehingga nantinya, pembelajaran yang anak-anak peroleh menjadi lebih bermakna.





***

Konsep dan gagasan rumah belajar adalah ide brilian. Rumah belajar hadir sebagai sebuah medium bagi anak dan guru untuk belajar dari mana saja dan kapan saja. Bukti bahwa negara hadir (haiss) bagi mereka yang tidak bisa mengakses bimbel online berbayar. Pun juga merupakan salah satu pembuktian bentuk adaptasi dunia pendidikan di era industri 4.0 ini.

Mengingat betapa besarnya manfaat dan betapa mulianya tujuan rumah belajar, beberapa kekurangan yang masih terdapat di beberapa bagian mutlak diperbaiki sesegera mungkin. Pun dengan beberapa hal yang bisa ditambahkan jika mungkin sesegera mungkin ditambahkan. Demi makin kayanya sistem pendidikan kita. Libatkan sebanyak mungkin ahli-ahli terkait, atau siapa yang masih berkenan untuk ikut turun tangan dalam mengangkat bersama pendidikan Indonesia yang sampai hari ini masih berada di level bawah dunia. Dan yang terlebih penting lagi adalah, mari kita sosialisasikan dan rayakan niat baik rumah belajar ini di setiap ruang-ruang belajar yang ada.




Review ini ditulis dengan metode speech to text, pembuatannya dapat dilihat pada link berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=pdQBdA7jJcI&t=6s
https://www.youtube.com/watch?v=-D0K5aIBr9A&t=81s



Godean, 10 September 2019











Friday, June 21, 2019

Melihat Sistem Zonasi dari Kaca Mata Kami, Para Guru SMP Swasta di Daerah Pinggiran


Judul tulisan ini sengaja saya buat panjang agar Bapak Ibu sekalian dari awal sudah paham, bahwa bisa jadi tulisan ini akan sangat subjektif sekali. Maka demikian, mohon maaf bila di salah satu bagiannya akan terbaca sangat tendensius. Tapi bisa jadi juga tulisan ini gagal menyampaikan apa-apa, mengingat buruknya kemampuan saya dalam menyampaikan sesuatu.

Perkenalkan, saya adalah seorang guru di salah satu SMP Swasta di daerah pinggiran. Dibanding masa bakti hampir sebagian Bapak Ibu di grup ini dalam dunia pendidikan, saya jelas bukan apa-apa. “Anak kemarin sore”, demikian sebagian besar orang membahasakan. Maka jika nanti dirasa kok demikian sempitnya pemikiran saya, mohon pemaklumannya. Saya yang masih minim pengalaman ini hanya sekadar ingin berbagi harap. Semoga Bapak Ibu sekalian nantinya juga kerso bercerita banyak terkait sistem zonasi ini. Agar pikiran saya yang sempit ini bisa sedikit meluas.


Lumrahnya sekolah swasta pinggiran lainnya, sekolah kami hampir selalu menjadi jujugan akhir dari para calon anak SMP. Dari anak-anak ‘sisa negeri’ seperti mereka lah sekolah kami hidup.

Banyak hal yang membuat tahun-tahun pertama saya menjumpai anak-anak terasa demikian berat. Di masa itu, masih banyak anak-anak kami yang nir-sopan santun. Sebagai guru baru yang masih muda, kelas terkadang tak ubahnya taman bermain tatkala saya mengajar. Taman bermain dalam arti yang sesungguhnya, anak-anak banyak yang mengelompok bermain, sibuk mengobrol dengan teman-temannya, teriak sana-sini. Hanya tertinggal beberapa anak yang sudi memperhatikan saya, barangkali juga atas dasar rasa kasihan terhadap saya. Hahaaa.

Tak terhitung berapa kali saya menangis saat masa awal-awal mengajar itu. Dibesarkan di lingkungan keluarga yang tergolong baik-baik dan lingkungan pendidikan yang termasuk favorit, saya kaget melihat ada ‘dunia lain’ yang saat itu saya sebut ‘bar-bar’. Maafkan saya, Anak-anak. Hahaa.



Lepas beberapa bulan mengajar, sediki-sedikit saya mulai berkenalan dengan lingkungan keluarga anak-anak kami berasal. Perkenalan itu sedikit membuka pikiran saya, menghadirkan penerimaan atas sikap anak-anak.

Yang kerap terngiang adalah, pernah salah seorang anak kami yang invalid (sekolah kami memang sekolah inklusi) terjatuh di kelasnya. Teman-temannya lantas menggotongnya menuju UKS. Salah seorang guru menghubungi orang tua anak tersebut lewat nomor HP Paklek nya. Orang tua si Anak belum punya HP. Tak lama, Ibu anak tersebut datang. Tergopoh Ia menuju UKS (setelah melepas sendal jepitnya di depan pintu UKS) lalu mencium kening anaknya. Setelah memastikan tak ada hal serius yang perlu dicemaskan tentang anaknya, Ia bercerita tengah membantu menggarap sawah tetangganya saat Paklek si Anak memintanya untuk segera ke sekolah.

Sebut saja anak itu Zaid. Zaid kerap dibully ­karena tangan dan kaki nya yang istimewa itu. Tapi dia hebat, tak pernah sekalipun dia terlihat kecil hati. Di pembelajaran pun ia tergolong anak yang ndemenakke. Melihat kecemasan Ibunya dan ciuman tulus di kening Zaid saat itu, tiba-tiba saya merasa nggerus. Tentu ada banyak sekali pengharapan Ibu Zaid untuk Zaid, untuk masa depan Zaid. Dan saat itu juga saya merasa sangat tidak layak sekali menjadi guru. Semacam, ‘mampukah saya memenuhi pengharapan-pengharapan Ibu Zaid atas diri Zaid?’. Dan bukan hanya satu, tapi juga untuk ratusan anak lainnya.

Lepas kasus Zaid, saya mulai berkenalan dengan latar belakang anak-anak saya yang lain. Ada Sadam yang di sekolah kerjaannya tidur. Bicara maupun tingkah lakunya kasar. Tiap sore hingga malamnya ternyata dihabiskan membantu orangtuanya jualan nasi kucing di angkringan. Ada Reni yang pergaulannya cenderung bebas. Di rumah, orangtuanya sudah lama cerai. Bapaknya sering mabuk-mabukan dan membawa wanita lain pulang ke rumah. Hampir tiap malam. Sementara Ibunya pergi menjadi TKW.

Ada Hendra yang saya jumpai tengah menarik gerobag penuh dedaunan dan rumput saat saya pulang dari memberi les privat. “Untuk pakan sapi, Bu”, jawabnya ketika saya tanya. Ada Pak Kirjo, Bapak salah seorang anak kami yang berumah di pegunungan sana, sore-sore dengan sepeda berkunjung ke rumah salah satu guru sekolah kami, menitipkan beberapa lembar uang yang dilipat-lipat jadi satu. “Nembe mawon diparingi juragan, Bu. Titip kagem mbayar sekolah e lare kulo nggih”.

Pernah juga kami harus mendatangi rumah salah seorang anak kami karena Ibunya menelpon dengan tangis, meminta kami ke rumahnya saat itu juga. Ternyata didapatinya sang anak berbuat yang tidak-tidak ketika dirinya dan suaminya pulang lebih awal dari proyek. “Rekane nggih ewang-ewang melu dadi laden, Bu. Ngelingi anak e meh pados sekolah. Nek Bapak e kiyambak karangan mboten cekap e.”

Pun belum lama, saya berpapasan dengan salah seorang anak kami yang sudah lulus tengah membonceng gerobag bertuliskan tahu gejrot. “Jualan, Bu. Di perempatan ****”, ketika saya tanya nasib sekolahnya, “ha nggih sekolah, Bu. Ten SMK **** (menyebut salah satu nama SMK swasta). Nek sore nyambi jualan”.



Demikian sebagian kisah anak-anak saya, Bapak Ibu. Tentu saja tidak semuanya sebiru itu. Barangkali untuk beberapa kasus akan terdengar heroik. Tapi saya kira sekarang bukan waktunya untuk mengglorifikasi kisah hidup anak-anak. Semua itu adalah sedikit bukti adanya ketimpangan besar di masyarakat kita. Dulu, di lingkungan sekolah saya, teman-teman saya hampir semuanya berada. Kami bersekolah di sekolah negeri favorit. Lepas sekolah kami bisa tidur siang, malamnya bisa belajar didampingi orang tua kami. Pun jika harus membutuhkan ini itu untuk perlatan sekolah, orang tua kami mampu membelikannya, tanpa perlu mengkhawatirkan keberadaan sarapan kami esok pagi.

Tapi sekarang, dunia yang dulunya saya yakini hanya ada di skenario sinetron Indosiar, ternyata nyata adanya. Dan sayangnya dimiliki oleh sebagian anak-anak saya di sekolah. Beberapa dari anak-anak saya tak memiliki kemewahan untuk bisa belajar di sore hari, maka jangan heran jika dari jaman SD dulu mereka menabung ketidaktuntasan di banyak mata pelajaran. Dan tentu saja bertambah banyak sampai sekarang, mengingat mata pelajaran yang mereka pelajari juga tambah banyak macamnya.

Pun untuk fasilitas, ataupun gizi yang layak, jangan berharap banyak. Uang Bapak Ibu mereka hampir sebagian besar habis untuk membayar biaya pendidikan di sekolah swasta kami ini. Jadi maafkan mereka jika tak punya banyak peralatan, juga kerap tak mengumpulkan tugas yang mengharuskan browsing sana-sini atau mengetik banyak. Biaya warnet mahal.

Saya kira bukan salah mereka seluruhnya jika kemampuan mereka tak bisa bersaing. Bahkan sangat mungkin itu adalah kesalahan kami, yang belum mampu memfasilitasi mereka agar mampu di pelajaran.


Sistem zonasi yang tengah banyak jadi topik di banyak grup atau simpul-simpul diskusi pendidikan ini tentu saja membangkitkan banyak harap bagi saya. Semoga bisa memperbesar peluang anak-anak saya belajar di sekolah negeri. Sehingga mereka bisa belajar tanpa dibebani mahalnya biaya administrasi sekolah. Belajar dengan guru-guru yang mumpuni, sehingga bisa mengurangi tabungan ketidaktuntasannya. Dan yang pasti, bisa berteman dengan anak-anak yang lebih beruntung, dan bersama-sama mengusahakan masa depan yang cerah bagi semuanya. Dunia yang lebih egaliter bagi semuanya. Bersama-sama memperkecil jurang kesenjangan yang ada. Mewujudkan harapan Ibunya Zaid, dan tentu harapan Bapak Ibu anak-anak yang lain.

Jadi, kagem Bapak Ibu sekolah negeri yang besoknya ketiban ndaru menjadi Ayah Ibu di sekolah dari anak-anak kami, "Ndherek titip lare-lare nggih, Bapak Ibu. Semoga diparingi gampil kagem semuanya. Semoga senantiasa diparingi kemudahan dan kemampuan dalam setiap niat baik. Terakhir, semoga senyum dan syukur senantiasa menemani." 😊😊😊


Note:
1. Ditulis dengan niat untuk turut meramaikan hingar bingar grup terkait zonasi, tapi ndak jadi diposting di grup mawon deh. Hahahaa
2. Semua nama yang ada di atas jelas bukan nama sebenarnya, selain karena privasi yang bersangkutan, sebab lainnya adalah karena saya memang lupa ðŸ˜”

Friday, February 28, 2014

Sangkan Paran



Beberapa tahun ini saya kerap berkelana. Dari satu persinggahan ke persinggahan lain. Apa yang saya dapat dari semua itu? Entah. Bukan, kata entah di sini bukan berarti semua pengelanaan saya itu tak menghasilkan apa-apa. Tentu saja ada yang bertambah pada saya. Dan sejauh ini tampaknya pertambahan pada diri tersebut bernilai positif. Tapi, hei, bukankah terkadang punya banyak ataupun tak punya apa-apa bisa jadi sama-sama tak membawamu beranjak kemana-mana, bukan? Semacam itu barangkali. Entahlah. Saya tak tahu pasti.
Tapi yang saya tulis ini bukan kisah tentang pengelanaan –pengelanaan itu. Ini kisah tentang ritual sacral yang kerap saya lakukan saat semua entah tadi terasa begitu membingungkan. Atau saat sekadar semuanya terlalu eman-eman untuk dilewatkan dengan biasa saja, tanpa seremoni basa-basi. Ya, ritual sacral itu seremoni basa-basi itu. Bisa jadi, bukan? Bukankah upacara-upacara adat nan sacral di berbagai pelosok tanah ini juga sudah tereduksi menjadi seremoni basa-basi macam acara penyambutan turis atau remeh-temeh lainnya. Saya kira saya sedang mengadaptasi konsep itu.
Ya, ritual sacral itu yang akan saya kisahkan kali ini. Sebuah ritual demi menjaga kewarasan.

***

Jendela yang mulai mengembun di samping saya duduk tak dapat bercerita banyak, selain kelam malam yang datang berjanjian dengan hujan. Hujan dan kelam malam. Kombinasi yang tepat untuk menemani perjalanan saya yang sudah saya duga akan menjadi sendu mengingat apa yang mendasari saya melangkah kali ini.

Belakangan ini saya merasa terlalu penuh dengan kekhawatiran-kekhawatiran kecil yang dijadikan besar oleh masa menganggur saya. Teman-teman yang mulai asik dengan dunia barunya, kerinduan akan sebuah pencapaian, kebutuhan akan uang yang aduhai manisnya, ketakutan untuk menjadi rutin kembali, ketidaktegaan meninggalkan thole diasuh orang lain, keengganan untuk menjadi terikat. Semuanya bertubrukan jadi satu.

Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut yang mendasari perjalanan saya kali ini. Ya, ada seseorang yang mesti saya jenguk. Sekadar untuk berbagi cemas dengannya, bersilat lidah dengannya atau sekadar duduk diam bersamanya. Menikmati hening music atau monokromatisnya acara tv hari ini. Dia tak pernah menjanjikan kejelasan ataupun ketenangan pada saya, tapi akan selalu ada sedikit pemahaman ataupun penerimaan akan semua hiruk-pikuk yang membawa saya menjenguk dirinya. Dan meski sedikit itu amatlah melegakan.

Ya, saya mesti pulang mengunjungi diri saya sendiri, yang kerap saya tinggalkan untuk berkelana pada pikiran-pikiran orang lain. Saya perlu berdialog dengan diri ataupun sekadar menjenguk untuk memastikan masih adakah kebeadaannya setelah saya lebih memilih mengimani apa kata orang daripada dia, yang kebetulan adalah saya sendiri itu. Mendengar kembali apa yang sebenarnya diinginkan untuk saya. Entah untuk melegakan siapa, saya atau justru dia.

Ya, saya perlu pulang kepada diri saya demi menjaga kewarasan. Meski selanjutnya saya akan tetap lebih betah berkelana di pemikiran orang lain lagi tapi saya tetap harus pulang.
Tiba-tiba music yang sedari tadi kami putar tak lagi hening,

pejamkan mata kita, di Venesia…’

Friday, November 29, 2013

. . .

lalu kau mulai mengarang cerita
mengucap biru yang senyatanya merah
dan esok, entah bagaimana lagi caramu menihilkan kami

lantas, mustikah kami bilang selamat untuk hingar bingarmu kali ini?

Tuesday, October 1, 2013

Hei, Kamu!

Selamat bergabung di barisan pemuja akhir pekan!

Sekarang, tundukkan kepala sejenak. Mengheningkan cipta, mulai!



Terima kasih telah sedikit memberi kelegaan pada mereka yang selalu menanti-nanti hari ini. :)

Friday, June 21, 2013

Persembahan


Kepada mereka yang terlalu percaya bahwa buku ini bagi saya adalah sumber bahagia, pemanggil sukses, tolak bala, pawang malang dan segala kemewahan lainnya...

Saya persembahkan tiap serat yang menjalin menjadi bingkainya, juga tiap huruf yang berjajar menjadi isinya.

Silakan menikmati kepercayaan kalian dan biarkan saya menunggu keajaiban yang kalian imani lahir dari buku ini dalam segala kesederhanaan yang saya hargai sebagai keajaiban, yang lahir dari tangan saya sendiri, yang berkolaborasi dengan hati tentunya.

Terima kasih untuk segalanya.


Sementara untuk mereka yang percaya bahwa buku ini bagi saya adalah pemangkas siklus sisifus, bahwa buku ini bagi saya adalah harga untuk sepasang sayap ikarus,

Saya persembahkan tiap tetes peluh, tiap siksa sesak, tiap tanya yang mengerak dalam perjalanan mewujudnya buku ini.

Sembah kasih untuk kalian.


Dan sekarang, ijinkan saya mendaftar menjadi ahli waris Patung Durna yang tersohor itu.