Friday, June 21, 2019

Melihat Sistem Zonasi dari Kaca Mata Kami, Para Guru SMP Swasta di Daerah Pinggiran


Judul tulisan ini sengaja saya buat panjang agar Bapak Ibu sekalian dari awal sudah paham, bahwa bisa jadi tulisan ini akan sangat subjektif sekali. Maka demikian, mohon maaf bila di salah satu bagiannya akan terbaca sangat tendensius. Tapi bisa jadi juga tulisan ini gagal menyampaikan apa-apa, mengingat buruknya kemampuan saya dalam menyampaikan sesuatu.

Perkenalkan, saya adalah seorang guru di salah satu SMP Swasta di daerah pinggiran. Dibanding masa bakti hampir sebagian Bapak Ibu di grup ini dalam dunia pendidikan, saya jelas bukan apa-apa. “Anak kemarin sore”, demikian sebagian besar orang membahasakan. Maka jika nanti dirasa kok demikian sempitnya pemikiran saya, mohon pemaklumannya. Saya yang masih minim pengalaman ini hanya sekadar ingin berbagi harap. Semoga Bapak Ibu sekalian nantinya juga kerso bercerita banyak terkait sistem zonasi ini. Agar pikiran saya yang sempit ini bisa sedikit meluas.


Lumrahnya sekolah swasta pinggiran lainnya, sekolah kami hampir selalu menjadi jujugan akhir dari para calon anak SMP. Dari anak-anak ‘sisa negeri’ seperti mereka lah sekolah kami hidup.

Banyak hal yang membuat tahun-tahun pertama saya menjumpai anak-anak terasa demikian berat. Di masa itu, masih banyak anak-anak kami yang nir-sopan santun. Sebagai guru baru yang masih muda, kelas terkadang tak ubahnya taman bermain tatkala saya mengajar. Taman bermain dalam arti yang sesungguhnya, anak-anak banyak yang mengelompok bermain, sibuk mengobrol dengan teman-temannya, teriak sana-sini. Hanya tertinggal beberapa anak yang sudi memperhatikan saya, barangkali juga atas dasar rasa kasihan terhadap saya. Hahaaa.

Tak terhitung berapa kali saya menangis saat masa awal-awal mengajar itu. Dibesarkan di lingkungan keluarga yang tergolong baik-baik dan lingkungan pendidikan yang termasuk favorit, saya kaget melihat ada ‘dunia lain’ yang saat itu saya sebut ‘bar-bar’. Maafkan saya, Anak-anak. Hahaa.



Lepas beberapa bulan mengajar, sediki-sedikit saya mulai berkenalan dengan lingkungan keluarga anak-anak kami berasal. Perkenalan itu sedikit membuka pikiran saya, menghadirkan penerimaan atas sikap anak-anak.

Yang kerap terngiang adalah, pernah salah seorang anak kami yang invalid (sekolah kami memang sekolah inklusi) terjatuh di kelasnya. Teman-temannya lantas menggotongnya menuju UKS. Salah seorang guru menghubungi orang tua anak tersebut lewat nomor HP Paklek nya. Orang tua si Anak belum punya HP. Tak lama, Ibu anak tersebut datang. Tergopoh Ia menuju UKS (setelah melepas sendal jepitnya di depan pintu UKS) lalu mencium kening anaknya. Setelah memastikan tak ada hal serius yang perlu dicemaskan tentang anaknya, Ia bercerita tengah membantu menggarap sawah tetangganya saat Paklek si Anak memintanya untuk segera ke sekolah.

Sebut saja anak itu Zaid. Zaid kerap dibully ­karena tangan dan kaki nya yang istimewa itu. Tapi dia hebat, tak pernah sekalipun dia terlihat kecil hati. Di pembelajaran pun ia tergolong anak yang ndemenakke. Melihat kecemasan Ibunya dan ciuman tulus di kening Zaid saat itu, tiba-tiba saya merasa nggerus. Tentu ada banyak sekali pengharapan Ibu Zaid untuk Zaid, untuk masa depan Zaid. Dan saat itu juga saya merasa sangat tidak layak sekali menjadi guru. Semacam, ‘mampukah saya memenuhi pengharapan-pengharapan Ibu Zaid atas diri Zaid?’. Dan bukan hanya satu, tapi juga untuk ratusan anak lainnya.

Lepas kasus Zaid, saya mulai berkenalan dengan latar belakang anak-anak saya yang lain. Ada Sadam yang di sekolah kerjaannya tidur. Bicara maupun tingkah lakunya kasar. Tiap sore hingga malamnya ternyata dihabiskan membantu orangtuanya jualan nasi kucing di angkringan. Ada Reni yang pergaulannya cenderung bebas. Di rumah, orangtuanya sudah lama cerai. Bapaknya sering mabuk-mabukan dan membawa wanita lain pulang ke rumah. Hampir tiap malam. Sementara Ibunya pergi menjadi TKW.

Ada Hendra yang saya jumpai tengah menarik gerobag penuh dedaunan dan rumput saat saya pulang dari memberi les privat. “Untuk pakan sapi, Bu”, jawabnya ketika saya tanya. Ada Pak Kirjo, Bapak salah seorang anak kami yang berumah di pegunungan sana, sore-sore dengan sepeda berkunjung ke rumah salah satu guru sekolah kami, menitipkan beberapa lembar uang yang dilipat-lipat jadi satu. “Nembe mawon diparingi juragan, Bu. Titip kagem mbayar sekolah e lare kulo nggih”.

Pernah juga kami harus mendatangi rumah salah seorang anak kami karena Ibunya menelpon dengan tangis, meminta kami ke rumahnya saat itu juga. Ternyata didapatinya sang anak berbuat yang tidak-tidak ketika dirinya dan suaminya pulang lebih awal dari proyek. “Rekane nggih ewang-ewang melu dadi laden, Bu. Ngelingi anak e meh pados sekolah. Nek Bapak e kiyambak karangan mboten cekap e.”

Pun belum lama, saya berpapasan dengan salah seorang anak kami yang sudah lulus tengah membonceng gerobag bertuliskan tahu gejrot. “Jualan, Bu. Di perempatan ****”, ketika saya tanya nasib sekolahnya, “ha nggih sekolah, Bu. Ten SMK **** (menyebut salah satu nama SMK swasta). Nek sore nyambi jualan”.



Demikian sebagian kisah anak-anak saya, Bapak Ibu. Tentu saja tidak semuanya sebiru itu. Barangkali untuk beberapa kasus akan terdengar heroik. Tapi saya kira sekarang bukan waktunya untuk mengglorifikasi kisah hidup anak-anak. Semua itu adalah sedikit bukti adanya ketimpangan besar di masyarakat kita. Dulu, di lingkungan sekolah saya, teman-teman saya hampir semuanya berada. Kami bersekolah di sekolah negeri favorit. Lepas sekolah kami bisa tidur siang, malamnya bisa belajar didampingi orang tua kami. Pun jika harus membutuhkan ini itu untuk perlatan sekolah, orang tua kami mampu membelikannya, tanpa perlu mengkhawatirkan keberadaan sarapan kami esok pagi.

Tapi sekarang, dunia yang dulunya saya yakini hanya ada di skenario sinetron Indosiar, ternyata nyata adanya. Dan sayangnya dimiliki oleh sebagian anak-anak saya di sekolah. Beberapa dari anak-anak saya tak memiliki kemewahan untuk bisa belajar di sore hari, maka jangan heran jika dari jaman SD dulu mereka menabung ketidaktuntasan di banyak mata pelajaran. Dan tentu saja bertambah banyak sampai sekarang, mengingat mata pelajaran yang mereka pelajari juga tambah banyak macamnya.

Pun untuk fasilitas, ataupun gizi yang layak, jangan berharap banyak. Uang Bapak Ibu mereka hampir sebagian besar habis untuk membayar biaya pendidikan di sekolah swasta kami ini. Jadi maafkan mereka jika tak punya banyak peralatan, juga kerap tak mengumpulkan tugas yang mengharuskan browsing sana-sini atau mengetik banyak. Biaya warnet mahal.

Saya kira bukan salah mereka seluruhnya jika kemampuan mereka tak bisa bersaing. Bahkan sangat mungkin itu adalah kesalahan kami, yang belum mampu memfasilitasi mereka agar mampu di pelajaran.


Sistem zonasi yang tengah banyak jadi topik di banyak grup atau simpul-simpul diskusi pendidikan ini tentu saja membangkitkan banyak harap bagi saya. Semoga bisa memperbesar peluang anak-anak saya belajar di sekolah negeri. Sehingga mereka bisa belajar tanpa dibebani mahalnya biaya administrasi sekolah. Belajar dengan guru-guru yang mumpuni, sehingga bisa mengurangi tabungan ketidaktuntasannya. Dan yang pasti, bisa berteman dengan anak-anak yang lebih beruntung, dan bersama-sama mengusahakan masa depan yang cerah bagi semuanya. Dunia yang lebih egaliter bagi semuanya. Bersama-sama memperkecil jurang kesenjangan yang ada. Mewujudkan harapan Ibunya Zaid, dan tentu harapan Bapak Ibu anak-anak yang lain.

Jadi, kagem Bapak Ibu sekolah negeri yang besoknya ketiban ndaru menjadi Ayah Ibu di sekolah dari anak-anak kami, "Ndherek titip lare-lare nggih, Bapak Ibu. Semoga diparingi gampil kagem semuanya. Semoga senantiasa diparingi kemudahan dan kemampuan dalam setiap niat baik. Terakhir, semoga senyum dan syukur senantiasa menemani." 😊😊😊


Note:
1. Ditulis dengan niat untuk turut meramaikan hingar bingar grup terkait zonasi, tapi ndak jadi diposting di grup mawon deh. Hahahaa
2. Semua nama yang ada di atas jelas bukan nama sebenarnya, selain karena privasi yang bersangkutan, sebab lainnya adalah karena saya memang lupa ðŸ˜”