Tuesday, May 14, 2013

Untuk Putri


Aku selalu iri sekaligus kagum ketika mendengarkanmu membicarakan mimpi. Tak sedikitpun terdengar kebingungan di tiap katanya. Kamu membicarakannya seolah ia tak lebih dari rancang denah yang telah kerap kamu gambar dalam masa studimu kemarin. Ada kejelasan pada setiap detailnya. Seolah-olah telah kamu buat cetak birunya. Sebuah desain hebat tentang sebuah mimpi lengkap dengan berbagai macam rincian yang mengikutinya. Dan mengingat jiwamu yang selalu tertarik untuk membuat ‘sesuatu’ aku yakin entah di sudut kamarmu bagian mana, pasti ada coretan tentang mimpi itu. Cetak biru itu.

Sudah lama aku terlalu malas untuk bermimpi. Setiap kali berhasil merumuskan sebuah mimpi, ia selalu hancur dalam tiap perjalanannya. Bahkan sebelum tahap perwujudannya, ia telah ambyar kepentok perijinan. Atau kalaupun sukses mendapat ijin, ia akan mumur dihantam realita. Aku telah memutuskan pensiun menjadi pemimpi profesional. Sekadar menjalani hidup sebagai kemanutan pada apa saja yang telah disiapkan, dan berlagak menikmatinya.

Aku selalu mencoba meyakini apa yang pernah dikatakan oleh Dhani: bahwa harapan adalah memupuk mesiu dan meledakkannya dengan tersembunyi, bahwa harapan seringkali berulah seperti pisau tajam yang menusukmu pelan-pelan lalu ditarik secara tiba-tiba. Ya, semacam itu. Aku meyakini bahwa mimpi adalah calon pengkhianat bagi mereka yang telah melahirkannya.

Tapi aku lemah. Kau tahu, aku selalu meyakini bahwa semua yang tersaji untuk kita adalah hadiah, sesuatu yang musti selalu kita syukuri. Tapi aku seringkali membangkang. Menganggap bahwasanya nasib kerap tak berpihak padaku. Menganggap apa yang ku(coba)yakini sebagai hadiah adalah musibah. Begitulah dengan mimpi, aku kerap mengkhianati keputusanku utuk pensiun dengan tanpa sadar bermimpi diam-diam. Menjilat kembali kata-kata Dhani yang kerap kuucap selayak mantra.

Maka kemarin, ketika kita menghabiskan malam dengan bertukar cerita tentang mimpi-mimpi, ada sesuatu yang bergejolak. Semacam rasa ingin nggondheli sekaligus ingin mendorongmu keras-keras. Semacam rasa ingin menampar agar kamu tersadar sekaligus ingin memberikan banyak-bayak tepuk pundak sebagai bentuk dukungan.

Ah, sudahlah. Apapun itu, hari ini kamu telah tiga hari berada di perantauan, mengejar semua mimpimu. Tulisan ini awalnya kuniatkan sebagai ucapan selamat serta bentuk turut berbahagia yang ceria. Sedikit menyerempet kekonyolan-kekonyolan jaman SD yang menyebabkan senyum simpul lalu dengan sok bijak ala orang-orang dewasa memberi bermacam petuah tentang hidup. Tapi jika jadinya hanya sebuah curhat macam begini ya terima saja. Hahaa.

Intinya, selamat bersenang-senang di Jakardah, Jo! Hajar semua pedih-perihnya. Lalu sembilan bulan lagi, silakan ceritakan semua pencapaianmu di sana. Barangkali saat itu, saat mendengar ceritamu yang meletup-letup itu, aku bisa tertarik menjadi seorang pemimpi lagi.

Muachhhh.